Rabu, 13 Januari 2010

Ayah, Si Buruk Rupa

User Rating: / 33
PoorBest
Selama ini aku selalu berhasil melarang Ayah datang ke sekolah: mengantar, menjemput, atau untuk keperluan lain. Tentu saja aku tidak terang-terangan melarang. Aku punya cara supaya Ayah tidak merasa aku larang ke sekolah. Seperti musim pengambilan rapor kemarin dulu, misalnya.


“Ibu saja yang mengambil rapor, Yah. Ayah ‘kan capek,” kataku ketika itu.


“Tapi besok ‘kan Sabtu. Ayah libur, tidak ke mana-mana.”


“Setiap hari Ayah ‘kan kerja, cuma libur hari Sabtu dan Minggu. Jadi, Sabtu dan Minggu jatah Ayah duduk manis di rumah, baca-baca, nonton tivi, atau siram-siram bunga. Tenang saja, Yah. Dijamin, pokoknya raporku keren,” kataku mencoba ‘melarang’ Ayah ke sekolah.


“Oke, deh,” jawab Ayah dengan gayanya yang khas.


“Yes!” aku berteriak –dalam hati, tapi-- sambil mengepalkan tangan.


Kadang-kadang aku suka merasa berdosa karena sering menghalang-halangi Ayah ke sekolah. Habis, aku harus bagaimana. Kalau Ayah ke sekolah, semua temanku akan tahu penampilan ayahku tidak cool seperti ayah mereka. Bukan karena tidak bisa berdandan, tapi karena Ayah memang tidak menarik, baik wajah maupun postur tubuhnya. Sudah tidak tampan, kurus pula.


Aku tak habis pikir, bagaimana Ibu yang begitu cantik mau menikah dengan Ayah yang … ah, tidak tega aku menyebutnya. Ayah dan Ibu memang sungguh berbeda. Seperti langit dan comberan, begitu istilah Ayah setiap mengatakan perbedaan dirinya dan Ibu –tentu saja dengan nada bercanda. Langit dan bumi saja sudah jauh, apalagi dibandingkan dengan comberan –yang letaknya tentu lebih rendah dari permukaan bumi.


Kulit Ibu putih, bersih, tidak ada noda sedikit pun. Ibaratnya, kalau Ibu minum kopi, kopinya akan kelihatan meluncur dari mulut ke perut lewat lehernya yang indah itu. Sebaliknya, kulit Ayah hitam. Sudah hitam, banyak pulaunya.


“Yang ini bekas jatuh waktu mengejar layangan, yang ini diseruduk sepeda, yang ini kena petasan, yang ini disosor bebek, yang ini…” kata Ayah menunjuk peta pulau di kakinya dan menjelaskan bagaimana pulau-pulau itu didapat.


Ayah menjelaskan itu dengan riang gembira. Seolah-olah pulau-pulau di kakinya adalah sesuatu yang indah dan harus dibanggakan.


“Ayah norak, ih!”


Ayah malah tertawa. Sebelnya, Ibu juga ikut tertawa.


“Tahu tidak, selain kaki dengan pulau seribu ini, Ayah juga punya karunia lain yang sangat besar dari Tuhan. Karunia itu adalah wajah dan kulit Ayah.”


Mulutku menganga, mataku melotot. Tapi Ayah malah tertawa berderai.


“Kamu tahu apa maksud Ayah?” tanya Ibu ikut campur.



Aku menggeleng. Dengan gaya dibuat-buat, Ayah menjelaskan.

“Wajah Ayah adalah pemberian Tuhan. Ayah sudah seperti ini sejak bayi. Memang, Ayah bisa operasi plastik supaya wajah ini kelihatan tampan. Sayangnya Ayah tidak kaya. Seandainya kaya pun, Ayah tak mau operasi plastik. Lebih baik wajah Ayah tetap seperti ini daripada Ayah harus mengumpulkan ember dan tas kresek bekas dan membawanya ke dokter untuk modal operasi wajah Ayah. Jangan-jangan plastik-plastik bekas tadi akan meleleh kalau kena matahari. Hiii, seraam…”


Ayah dan Ibu tertawa. Menyebalkan. Huh!


“Kalau Ayah tidak boleh kena matahari, bagaimana kita bisa hidup. Ayah ‘kan tukang pos. Setiap hari harus berpanas-panas ke sana-kemari mengantar surat. Dari kerja itulah Ayah mendapat uang yang kita pakai untuk macam-macam: mulai dari makan sehari-hari, beli pakaian, bayar listrik, bayar sekolah, dan masih banyak lagi…” ujar Ibu melanjutkan.



Deg! Aku merasa nafasku sesak. Dan mataku terasa panas.Tiba-tiba begitu saja aku menubruk Ayah, memeluk, dan menciuminya.Di sela-sela tangis, aku cuma bisa berkata:

“Maafkan Cantika, Ayah…”


Ya, Ibu benar. Setiap hari Ayah berpanas-panas mengantar surat. Meskipun sudah ditutupi jaket, tetap saja kulit Ayah hitam. Dari kulit yang hitam terbakar matahari itu entah berapa liter keringat yang mengucur. Keringat itulah yang membuat aku bisa terus sekolah. Lalu, apa alasanku untuk tidak membanggakan orang itu, ayahku sendiri, yang telah bekerja keras demi aku, anaknya.


“Lho, lho, lho, ada apa ini?” kata Ayah sambil menerima pelukanku.

“Cantika, Cantika… Ayah bangga bisa berkumpul dengan kalian, bidadari-bidadari yang cantik. Ini anugerah Tuhan yang sangat besar. Tuhan sudah mengatur semuanya. Ayah yang buruk rupa ini bersanding dengan ibumu yang manis-ayu-cantik jelita. Kalau dua-duanya buruk rupa, ho ho ho, bagaimana Ayah bisa memperbaiki keturunan. Salah-salah wajah kamu bisa kotak-kotak…”

***

(Prih Suharto)prih_suharto @ yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Selamat Datang di Blog Dunia Anak - anak © 2008. Distributed by Blogger Templates. Design By: SkinCorner